Kamis, 14 Mei 2009

HUKUM EKONOMI

PERBANKAN SYARIAH
DALAM SISTEM PERBANKAN GANDA
(DUAL BANKING SYSTEM)


Suatu Perkembangan dalam Hukum Perbankan Indonesia
terhadap Eksistensi Perbankan Syariah










BAB I
PENDAHULUAN





1. Latar Belakang
Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan salah satu agen pembangunan (agent of change). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Fungsi inilah yang lazim disebut fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution).
Adapun kebijakan perbankan di Indonesia sejak tahun 1992 berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian diperkokoh dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Dual banking system maksudnya adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya bahwa bank umum konvensional juga diperkenankan memberikan layanan secara syariah melalui mekanisme Islamic window dengan terlebih membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).

2. Permasalahan
Berdasarkan pada uraian di atas, maka fokus pembahasan berikut ini mengemukakan mengenai :
a. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap perbankan Indonesia?
b. Bagaimana eksistensi Perbankan syariah dalam sistem hukum perbankan di Indonesia?
c. Bagaimana dan apa saja kelembagaan yang dapat diterapkan dalam perbankan syariah?
d. Bagaimana perbandingan perbankan syariah dengan perbankan konvensional?




BAB II
PEMBAHASAN





1. Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan di Indonesia

 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Pada tahun 1992 diundangkanlah UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Pada Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Undang-Undang ini ternyata mengakui perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini menganut single banking system, yang lebih tegas dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil. Dalam PP tersebut bank hanya diperkenankan melakukan kegiatan operasional usaha secara konvensional atau bagi hasil dan tidak boleh dalam suatu bank memberikan pelayanan memakai dua prinsip secara bersamaan. Dapat dilihat bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 pada dasarnya sudah mulai mengakui eksistensi bank syariah, namun semata-mata hanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Pada tahun 1998 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang ini secara tagas dikatakan bahwa sektor perbankan Indonesia terdiri dari dua macam yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada bank umum maupun bank perkreditan rakyat.
Bank konvensional adalah bank yang mendasarkan pengelolaannya berdasarkan sistem bunga (interest banking system), sedangkan bank berdasarkan prinsip syariah dalam ketentuan Pasal 1 angka (13) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Terlihat bahwa dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 kegiatan usaha bank menjadi semakin bervariasi yang secara garis besar terdiri dari dua macam produk yaitu produk penghimpunan dana antara lain melalui giro, tabungan, dan deposito. Sedangkan untuk penyaluran dana bisa berbentuk kredit maupun pembiayaan. Jadi, pada dasarnya kegiatan usaha bank hampir sama antara bank syariah dengan bank konvensional. Sebagai pembeda utama adalah terdapatnya unsur bunga dalam bank konvensional, sedangkan dalam bank syariah digantikan dengan transaksi-transaksi yang bersifat nyata (underlying transaction) untuk mencegah terjadinya nilai waktu dari uang (time vakue of money), karena Islam memandang bahwa uang sebagai alat tukar bukan sebagai barang komoditi.
Dengan demikian baik bank konvensional maupun bank syariah sama-sama merupakan institusi keuangan yang bergerak di bidang intermediasi keuangan (financial intermediary institution). Lebih lanjut mengenai pengaturan perbankan ini, khususnya bank syariah dapat kita temui dalam berbagai Peraturran Bank Indonesia (PBI). Sebagai contohnya adalah PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI inilah yang dapat dijadikan acuan dalam pembuatan kontrak-kontrak di bank syariah.

2. Eksistensi Perbankan Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Era Perbankan Syariah sudah dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menjadi dasar hukum bagi berdirinya bank bagi hasil. Namun secara faktual bank syariah yang ada di Indonesia untuk pertama kalinya adalah Bank Muamalat (BMI) yaitu pada tahun 1991. BMI adalah bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah secara murni pada semua produk-produknya. Pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, berdirilah Bank Syariah Mandiri (BSM) yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan setiap bank hanya dapat menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau bagi hasil. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang secara tegas dinyatakan :
a. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
b. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Keberadaan bank syariah di Indonesia semakin kokoh dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini cakupannya lebih luas, bahwa bak syariah tidak semata-mata memberikan produk-produknya berdasarkan prinsip syariah. Undang-undang ini pula yang mengadopsi sistem perbankan ganda (dual banking system), sehingga suatu bank umum konvensional juga memberikan hak untuk memberikan layanan syariah kepada nasabah.
Berkaitan dengan produknya, pada dasarnya juga hampir sama dengan bank konvensioanal. Yakni dalam produk menghimpun dana dikenal produk berupa giro, tabungan, dan deposito, tetapi berdasarkan dengan prinsip wadiah dan/atau mudharabah. Sedangkan produk penyaluran dana bukan dalam bentuk kredit melainkan dalam bentuk pembiayaan yang mendasarkan pada prinsip jual beli, prinsip bagi hasil, prinsip sewa-menyewa, dan dalam keadaan emergency bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip qardh al ahsan yang padanya tidak boleh mengambil keuntungan sedikitpun.
Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kepada bank uuntuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan. Secara logis dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia selaku pemegang otoritas perbankan di Indonesia dan sebagai the lender of the last resort juga sudah mengupayakan penanganan bagi bank-bank syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek.
Berkaitan dengan ketentuan konversi, suatu bank konvensional diperbolehkan melakukan konversi menjadi bank syariah namun sebaliknya bank syariah dilarang melakukan konversi menjadi bank konvensional. Hal ini dapat kit abaca dalam ketentuan Pasal 10 PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional, yang intinya menyatakan bahwa Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syaraiah, dilarang untuk mengubah Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menjadi kegiatan usaha secara konvensional.
Dengan demikian dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan peraturan pelaksananya yang tertuang dalam berbagai Peraturan Bank Indonesia semakin memperkuat eksistensi perbankan syariah di Indonesia.

3. Tinjauan Kelembagaan terhadap Perbankan Syariah di Indonesia
Secara kelembagaan bank syariah di Indonesia dimulai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. BMI merupakan bank syariah pertama yang menerapkan Prinsip Syariah dalam operasional kegiatan usahanya secara murni. Adapun trend lembaga keuangan bank yang menerapkan prinsip syariah saat ini paling tidak ada tiga variasi yaitu :

a. Bank Syariah
BMI dan Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan contohnya. Kedua bank tersebut sejak pertama didirikan memang bermaksud memberikan produk-produk yang berdasarkan Prinsip Syariah. Untuk bank syariah jenis ini hanya membuka satu pintu layanan saja, yaitu layanan berdasarkan Prinsip Syariah. Dengan demikian ia termasuk kategori single banking system.

b. Islamic Window
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan dasar hukum bagi dual banking system di Indonesia. Artinya adalah bahwa bank umum konvensional juga diperkenankan memberikan layanan secara syariah melalui mekanisme Islamic window. Untuk melakukan hal itu terlebih dahulu perlu dibentuk Unit Usaha Syariah yaitu unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah.
Adapun secara teknis mengenai hal ini telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut Pasal 13 ayat (1) PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Bahwa Bank Umum yang telah membuka UUS dapat membuka Kantor Cabang Syariah dengan cara :
1) Membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;
2) Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
3) Meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
4) Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang sebelumnya telah membuka unit syariah menjadi Kantor Cabang Syariah;
5) Meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan atau
6) Membuka Kantor Cabang Syariah baru yang berasal dari Unit Syariah dari kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu di mana Unit Syariah sebelumnya berada

c. Office Channeling
Office channeling merupakan cara baru yang dapat ditempuh oleh bank konvensional dalam rangka ikut memberikan layanan syariah. Intinya adalah kantor cabang atau kantor cabang pembantu suatu bank konvensional diperkenankan membuka counter-counter syariah dengan pemisahan sistem akuntansinya. Melalui office channeling akan mempermudah suatu bank dalam rangka ikut memberikan layanan syariah kepada nasabah, tanpa perlu mendirikan kantor cabang atau kantor cabang pembantu baru, melainkan cukup dengan kantor cabang atau kantor cabang pembantu yang sudah ada.
Lembaga pengawas yang ada di Perbankan Syariah Indonesia juga bersifat ganda baik secara internal maupun secara eksternal sehingga hal ini sangat menunjang bagi dilaksanakannya prinsip kehati-hatian bank (the prudential banking principle) dalam memberikan pembiayaan kepada nasabahnya dan turut mendukung suksesnya implementasi prinsip good corporate governance pada bank syariah. Adapun dari sisi internal bank syariah memiliki dua pengawas yaitu dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah (DPS), sedangkan secara eksternal juga memiliki dua pengawas yaitu Bank Indonesia (BI) dan Dewan Syariah Nasional (DSN)

4. Perbandingan Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional
Perbankan konvensional dan perbankan syariah memiliki persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya dalam kerangka umum di Indonesia adalah sama-sama berfungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yaitu lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan, dan deposito) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan.
Sedangkan perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional menurut M. Syafii Antonio adalah sebagai berikut :

 Bank Syariah
1) Melakukan investasi-investasi yang halal saja
2) Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa
3) Profit dan falah oriented
4) Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
5) Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
 Bank Konvensional
1) Investasi yang halal dan haram
2) Memakai perangkat bunga
3) Profit oriented
4) Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur
5) Tidak terdapat dewan sejenis



















BAB III
PENUTUP




1. Kesimpulan
Dengan demikian berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem perbankan ganda (dual banking system) diintrodusir dalam sistem hukum perbankan di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian dipertegas dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
Adanya sistem perbankan ganda (dual banking system) yang berlaku bagi bank umum terbukti dapat mengakselerasi pertumbuhan dan perkembangan sektor perbankan sayariah di Indonesia.

2. Saran
Dengan adanya sistem perbankan ganda (dual system banking) terhadap perbankan di Indonesia diharapakan dapat menciptakan stabilitas ekonomi makro dan mikro yang kondusif, meningkatkan kesejahteraan umum dan pembangunan nasional bagi semua masyarakat Indonesia.










DAFTAR PUSTAKA




http://www.google.co.id

Selasa, 21 April 2009

Hukum Pemerintahan Daerah

PERKEMBANGAN DESENTRALISASI DI INDONESIA

A. MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
1. Peraturan dasar ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2), tidak mengenai desentralisasi akan tetapi sentralisasi. Namun demikian disampiing sentralisasi, dijalankan pula dekonsentrasi. Dengan demikian pada waktu itu telah pula dikenal wilayah-wilayah administratif, misalnya di Jawa secara hirarkis adalah Gewest (yang kemudian disebut Residentie), Afdeeling, District, dan Onder-distict.
2. Sesuai dengan perkembangan politik dan pemerintahan, baik Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda sendiri, sistem yang sentralistis itu tidak dapat dipertahankan terus. Karena itu maka pada 1903 Pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan suatu Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie (Stb.1903/329) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet 1903. Decentalisatiewet atau Undang-Undang Desentralisasi 1903 ini memberi kemungkinan bagi pembentukan Gewest atau bagian Gewest yang mempunyai keuangan sendiri untuk membiayai segala kegiatannya. Pengurusan keuangan tersebut dilakukan oleh sebuah raad yang dibentuk bagi masing-masing daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang Desentralisasi 1903 ini dilakukan dengan Decentralisatie Besluit (Stb. 1905/137) dan Local Redenordonantie (Stb 1905/181). Menurut kedua peraturan ini, daerah yang diberi keuangan sendiri ini disebut Local Resort, sedangkan Raad-nya disebut Locale Raad. Locale Raad dibedakan ke dalam Gewestelijke Raad bagi Gewest dan Plaatselijke Raad bagi daerah-daerah yang merupakan bagian dari Gewest. Salah satu jenis dari Plaatselijke Raad ini adalah Gemeenteraad.
Ciri-ciri pokok desentralisasi menurut Desentralisatiewet 1903 ini adalah sebagai berikut :
a. Kemungkinan pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai kebutuhan-kebutuhannya yang pengurusannya dilakukan oleh sebuah raad;
b. Bagi Daerah yang dianggap telah memenuhi syarat, maka setiap kali dengan ordonantie pembentukan, dipisahkanlah sejumlah uang setiap tahun dari kas negara untuk diserahkan kepada Daerah tersebut, serta dibentuk raad bagi Daerah yang bersangkutan;
c. Untuk Gewestelijke Raad, jabatan ketuanya dipegang oleh Pejabat Pusat yang menjadi Kepala Gewest yang bersangkutan, sedang untuk daerah-daerah lainnya ditunjuk dalam ordonantie pembentukan. Ini pada umumnya juga adalah Pejabat Pusat yang menjadi Kepala Daerah administratif;
d. Para anggota Locale raad untuk sebagian diangkat, untuk sebagian duduk kerena jabatannya dalam pemerintahan dan sebagian lagi dipilih, kecuali Gemeenteraad yang sejak 1917 semua anggotanya dipilih. Masa duduk keanggotaan ini sampai 1925 diterapkan 6 tahun, dan setelah itu diubah menjadi 4 tahun;
e. Locale raad berwenang menetapkan Locale verordeningen mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan-kepentingan Daerahnya sepanjang belum diatur dalam peraturan perundangan Pusat;
f. Pengawasan terhadap Daerah baik berupa kewajiban Daerah untuk meminta pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak menunda atau membatalkan keputusan Daerah berada di tangan Gubernur Jenderal. Pejabat ini berhak pula mengatur hal-hal yang dilalaikan oleh Locale raad.
3. Pelaksanaan desentralisasi seperti di atas kurang memuaskan karena dirasakan sangat terbatas. Oleh karena itu dikeluarkanlah Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216), titik berat undang-undang ini adalah “pembentukan badan-badan pemerintahan baru dengan mengikutsertakan ‘penduduk asli’ dengan pemberian hak untuk menyelenggarakan pemmerintahan dan pembebanan tanggung jawab sebagai akibat dari pemberian hak tadi, agar lambat-laun dapat memperoleh pengalaman politik (“politieke scholing”) yang mutlak harus dimiliki untuk pada akhirnya dapat diberikan kepada Hindia Belanda suatu pemerintahan yang bebas nyata dalam lingkungan ikatan dengan Kerajaann Belanda”.
Pelaksanaan lebih lanjut undang-undang tersebut diatur dengan Provinie-ordonantie (Stb 1924/78), Regentschap-ordonantie (Stb 1924/79) dan Stadsgemeente-ordonantie (Stb 1926/365).
Berdasarkan peraturan tersebut di atas, dibentuklah pelbagai propinsi, regentschap dan stadsgemeente yang berhhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di Jawa dan Madura. Dengan demikian maka pelbagai Locaal ressort yang telah dibentuk sebelumnya, dihapus/ditiadakan.
Di luar Jawa dan Madura, keadaannya berbeda. Berdasarkan Groepsgemeenschap-ordonantie (Stb 1937/464) dan Stadsgemeente-ordonantie Buitengewesten, dibentuklah beberapa Groepsgemeenschap dan Stadsgemeente, sedangkan Local ressort yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903 masih tetap dipertahankan.
Karakteristik desentralisasi menurut Stb 1922/216 ini adalah sebagai berikut :
a. Kemungkinan pembentukan provinsi otonom dengan kekuasaan yang lebih luas daripada Gewest dulu. Provinsi itu terbagi ke dalam Regentschap/Groeps gemeenschap dan Stadsgemeenschap yang juga otonom;
b. Otonomi Daerah itu dan tugas-tugasnya untuk membantu pelaksanaan peraturan perundangan Pusat dipertegas ddengan keta-kata “regeling en bestuur van de huishouding der gemeenschap” dan “verlenen van medebewind tot uitvoering van algemene verordeningen”.
c. Susunan Pemerintah daerahnya pada umumnya terdiri atas tiga organ yaitu Raad, College, yyang menjalankan pemerintahan sehari-hari (dagelijkse leiding en uitvoering van zaken) dan Kepala Daerah (Gouverneur, Regent, Burgemeester);
d. Kepala Daerah yang merupakan Pejabat Pusatt sebagai Kepala daerah administratif, sekaligus merupakan organ Daerah, sebagai Ketua Raad dan Ketua College dari daerah yang bersangkutan;
e. Pengawasan terhadap Daerah dilakukan oleh Governeur General, sedangkan bagi Daerah-daerah di bawah Provincie juga oleh College Provincie yang bersangkutan. Kepala Daerah sebagai Pejabat Pusat menjalankan pula pengawasannya terhadap pelaksanaan otonomi dalam daerahnya.
4. Pertumbuhan Daerah otonom sejak 1903 di atas terjadi di wilayah yang langsung dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di wilayah yyang langsung dikuasainya ini, terdapat juga apa yang disebut Inlandsche Gemeente seperti Desa, Huta, Kuria, Marga, dan sebagainya. Untuk Jawa dan Madura, Inlandsche Gemeente diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) (Stb 1906/83), sedangkan untuk daerah di luar pulau Jawa dan Madura diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) (Stb 1939/490), Byblad 9308, Stb 1931/507, dan Desa-ordonantie (Stb 1941/356). Karena pecah Perang Dunia II, maka Desa-ordonantie tidak/belum sempat dilaksanakan.
5. Di daerah yang tidak langsung dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda terdapat daerah Otonom yang disebut Zelfberturende landshappen. Zelfberturende landshappen ini terdiri dari kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang mmempunyai kontrak-kontrak politik, baik kontrak poliyik panjang (lange contracten) seperti Kasunanan Sala/Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Deli, dan sebagainya, maupun kontrak politik pendek (koorte verklaring) seperti Pakualaman, Mangkunegaraan, Kesultanan Goa, Bone dan sebagainya.

B. MASA PENDUDUUKAN JEPANG
Pada waktu bala tentara Jepang menguasai wilayah Hindia Bellanda, pemerintahan di bekas wilayah jajahan ini dibagi ke dalam tiga komando, yaitu :
(a) Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV yyang berkedudukan di Bukittinggi;
(b) Jawa dan Madura berada di wilayah Komando Panglima Angkatan Darat XVI yang berkedudukan di Jakarta;
(c) Daerah lainnya berada di bawah Komando Panglima Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.
Dengan demikian maka pemerintahan berada di bawah kekuasaan militer yang dilaksanakan oleh Komando angkatan masing-masing yang disebut Gunseikan.
Baru kemudian pada 11 September 1943, kekuasaan pemerintah berada di bawah satu tangan, yaitu dalam tangan Saikosikikan yang berkedudukan sebagai Gubernur Jenderal. Di bawah Saikosikikan segala sesuatu yang dilakukan oleh Kepala Staf (Gunseikan) yang sekaligus adalah Kepala Staf Angkatan Perangnya. Segala peraturan perundangan dikeluarkan oleh Saikosikikan disebuut Osamuseirei dan yang dikeluarkan oleh Kepala Staf disebut Osamukanrei. Pemberitaan-pembberitaan resminya dimuat dalam Kanpo.
Osamuseirei No. 3 yang dikeluarkan oleh Saikosikikan mengatur pemberian wewenang kepada Walikota yang semula hanya untuk mengatur urusan rumah tangga daerahnya saja, sekarang diwajibkan juga untuk menjalankan urusan Pemerintahan Umum.
Selanjutnya, kedudukan Stadsgemeente dan Regenschap dengann Osamuseirei No. 12 dan No. 13 diubah menjadi Si dan Ken yang otonom, tetapi sifat demokratisnya diriadakan, karena hak-hak Raad dan College dialihkan kepada Kepala Daerah. Dengan Osamuseirei No. 21 dan No. 26 diterapkan pula bahwa Provinsi ditiadakan/dihapuskan. Demikian juga dengan Dewan Kabupaten dan Dewan Gemeente.
Selanjutnya dalam Osamuseirei No. 27 tahun 1942 ditetapkan antara lain :
(a) Jawa dan Madura, kecuali wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, dibagi atas beberapa syuu (Karesidenan), Si (Stadsgemeente), Ken (Regentschap), Gun (Distriik/Kawadenan). Son (Onderdistrict), dan Ku (Desa). Kepala-kepala pemerintahannya disebut Tyo; jadi berturut-turut terdapat Syuutyo, Sityyo, Kentyo, dan seterusnya.
(b) Urusan yang semula dijalankan oleh para Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Kepala Desa, Kepala Kampung (Wijkmeester) yang berada di daerah Si (Kota) diambil-alih oleh Sityo.
(c) Di samping itu ada Daerah Istimewa yang ditentukan oleh Gunseikan, yang disebut Tokubetsu Si.
Osamuseirei No. 28 tahun 1942 menetappkan pula bahwa Yogyakarta dan Surakarta diubah menjadi Kooti. Syuu dan Kooti merupakan Daerah yang berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi/pangan, sedang Si dan Ken dinyatakan tetap sebagai Daerah otonom akan tetapi keputusan-keputusannya dapat dibatalkan oleh Syuutyokan.
Kemudian untuk Kaarasidenan dibentuk sebuah Dewan yang disebut Sangi Kai (Syu Sangi Kai) yang anggota-anggotanya diangkat seluruhnya, Dewan-dewan ini “..... pada hakikatnya hanya dewan-dewan yang mendengarkan ceramah-ceramah, nasihat-nasihat dan perintah-perintah serta kemauan dari Pemmerintah Bala Tentara Jepang”.

C. MASA SETELAH PROKLAMASI HINGGA KINI
1. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh Undang-undang ini.

2. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai sistem rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui sistem mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut sistem atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri system rumah tangga formil bahwa. Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat sistem materiil lebih menonjol maka banyak yang beranggapan UU ini menganut system Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.




3. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah sistem otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang sistem otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Denagn peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut sistem yang dapat diberi nama sendiri yaitu sistem otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.








4. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.

5. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut sistem otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa
-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai sistem atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut sistem atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari sistem rumah tangga formil.

6. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang tentang sistem atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat mengetahui sistem atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya urusan yang diberikan kepada daerah.
Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat sistem atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada sistem atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga formil.

7. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2004. Ketentuan Undang-Undang ini mengandung prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan undang-undang ini. Jadi, undang-undang ini menganut sistem/ajaran rumahtangga materil (dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No 32 Tahun 2004). Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertuujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (berarti, undang-undang ini menganut juga sistem formal), dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 . Prinsip nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi daerah, bearti undang-undang ini juga menganut sistem riil (dalam Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004).